Selasa, 13 Desember 2011

Kritik atas Putusan MK No 35/PUU-IX/2011

Putusan MK No 35/PUU-IX/2011 ini menurut saya memiliki logika yang agak melompat dan gagal dalam memahami esensi kebebasan berserikat yang di jamin dalam UUD. Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, dan Pasal 51 ayat (1a) UU 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Beberapa alasan – alasan permohonan yang disarikan dalam Putusan MK tersebut adalah :
  1. Undang-Undang a quo telah mempersulit dan memperberat pendirian dan pembentukan partai baru, karena sebelum perubahan UU 2/2008 in casu Pasal 2 ayat (1), partai politik didirikan oleh 50 orang warga negara Indonesia, namun setelah perubahan dengan UU 2/2011 in casu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (1a), partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 orang warga negara Indonesia dari setiap provinsi dan didaftarkan oleh paling sedikit 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik;
  2. Undang-Undang a quo telah mempersulit partai politik untuk menjadi badan hukum, karena Pasal 3 ayat (2) terutama huruf c UU 2/2011 mensyaratkan partai politik tersebut harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi, dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan, serta paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
  3. Undang-Undang a quo telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu. Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan pembentukan partai politik bagi seorang warga negara, padahal hak untuk berserikat dan berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945;
  4. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang a quo memberikan waktu yang singkat yaitu 2½ tahun kepada partai politik untuk memenuhi kewajiban verifikasi, sehingga menurut para Pemohon ketentuan pasal a quo telah berlaku sewenang-wenang dan tidak adil, menghalangi hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui pendirian partai politik supaya dapat mengikuti Pemilu Tahun 2014;
  5. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon berpendapat bahwa Undang-Undang a quo yang mengatur mengenai pendirian dan pembentukan partai politik baru dan pembentukan badan hukum partai politik sulit dipenuhi, berbiaya tinggi, dan waktu yang tersedia untuk verifikasi sangat singkat. Jika pun Undang-Undang a quo dimaksudkan untuk penyederhanaan sistem kepartaian, seyogianyalah penyederhanaan sistem kepartaian tersebut dilakukan di hilar penentuannya, artinya diserahkan kepada rakyat melalui pemilihan umum atau dengan suatu sistem ambang batas (threshold);
Kali ini saya nggak akan membahas soal point d yaitu tentang ketentuan pasal 51 ayat (1a) tentang kewajiban verifikasi, namun hanya akan fokus pada kebebasan berserikat
Namun sebelum masuk pada isu utama yaitu kebebasan berserikat saya akan menyoroti dulu pertimbangan Mahkamah Konstitusi paragraf 3.11. Secara lengkap pertimbangan MK adalah sebagai berikut
“Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo”
Dalam konteks mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR bisa jadi memang karena MK tidak memiliki keperluan lagi karena seingat  saya ketentuan ini pernah diuji sebelumnya. Tapi ada baiknya jika MK menjelaskan alasan secara konkrit dan terelaborasi dengan baik kenapa tidak perlu mendengarkan keterangan pemerintah/DPR dalam perkara ini dan pertimbangan ini tidak hanya berdasarkan urgensi dan kejelasan permohonan.
Tapi bukan itu yang jadi soal bagi saya, tapi keberadaan risalah rapat antara yang terjadi di DPR baik ketika RDPU atau ketika rapat – rapat dengan pemerintah. Risalah ini penting untuk mengetahui original intent dari pembuat UU ketika membuat norma suatu UU, bagi saya ketidak konstitusionalan suatu norma justru bisa di lacak dari sumbernya yaitu dari risalah rapat yang ada di DPR. Apa maksud dari pembuat UU ketika membuat ketentuan yang membatasi pembentukan partai politik harusnya bisa dilacak dari risalah seperti itu. Pasal 54 UU 24/2003 dan PMK 6/2005, setidaknya Pasal 18 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), dan Pasal 26 ayat (1) membuka kemungkinan MK untuk meminta risalah rapat dalam pembentukan UU. Menurut saya MK seharusnya meminta risalah persidangan di DPR itu secara konsisten, hal ini diperlukan agar DPR dalam setiap persidangannya khususnya dalam pembentukan UU selalu membuat minuta yang kemudian diakses oleh masyarakat banyak. Karena persis di sinilah letak terkuaknya maksud asli dari Pembuat UU. Buat saya sayang jika MK hanya melihat apakah melihat risalah persidangan di DPR berdasarkan urgensi dan kejelasan isi permohonan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar