Selasa, 13 Desember 2011

FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Bahwa penulis telah menyelesaikan tugasmata kuliah ILMU PERUNDANG-UNDANGAN dengan membahas tentang FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN dalam bentuk MAKALAH sebagai tugas pengganti Quis.
Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan doa dari banyak pihak sehingga kendala-kendalah yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Dosen Ilmu Perundang-undangan yang telah memberikan tugas beserta petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
  2. Orang tua dan keluaraga yang telah turut membantu do’a dan kepercayaan, hingga termotivasi dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
  3. Kawan-kawan seperjuangan yang terus memberi semangat kebersamaan sehingga setiap masalah bisa terpecahkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi para penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, dan jika terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini maka para penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan para penulis juga menerima keitikan dan saran agar kedepan bisa lebih sempurna. Amiin.
 Lhokseumawe, 22  november 2011
 Hormat Saya

     Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................  i
DAFTAR  ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
A.    TEORI PERUNDANG-UNDANGAN...........................................................  3
B.     TOLOK UKUR “KEGENTINGAN YANG MEMAKSA”...........................   4
C.     PERPPU DALAM PERSPEKTIF HISTORIS................................................ 7
D.    PERPPU PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004NAMUN SEKARANG TELAH DIUBAH KEDALAM UU NO. 12 TAHUN 2011........................... 7
E.     APAKAH PERPPU DAPAT MEMUAT KETENTUAN PIDANA ?...........   8
F.      PERATURAN PEMERINTAH LAKSANA UNDANG-UNDANG............  10

BAB III PENUTUP.........................................................................................................11
A.    Kesimpulan....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 12



BAB I
PENDAHULUAN
A.    PENDAHULUAN
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Hal ini dapat pula dipersamakan, misalnya  dalam pembentukan suatu rumah. Jika kita cermati dalam pembentukan suatu rumah maka terdapat beberapa tahapan dalam pembentukannya.
Tahapan tersebut diantaranya adalah tahap perecanaan (desain dan perhitungan biaya), tahap permohonan izin mendirikan bangunan (IMB), tahap penyiapan bahan bangunan dan pekerja bangunan, tahap pelaksanaan pembangunan, dan tahap penghunian bangunan. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, terdiri atas tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap pengesahan, tahap pengundangan, dan tahap penyebarluasan. Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundangan-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus senantiasa berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan program Legislasi Nasional, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, serta Peraturan Presiden Nomor  1 Tahun 2007 tentang   Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan. 

BAB II
PEMBAHASAN
  1. PEMBAGIAN FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAGIR MANAN mengemukakan tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:
  1. Fungsi Internal
Fungsi Internal  adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.
Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:
a. Fungsi penciptaan hukum.
Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena:
·         Sistem hukum Indonesia – gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk  sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
·         Politik pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan  hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).
b. Fungsi pembaharuan hukum.
Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen  yangefektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.
c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum
Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
c. Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:
1.      Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
2.      Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan  bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.
3.      Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.
Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum -baik
dalam  arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.

Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme  baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.
  1. Fungsi Eksternal
Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:
    1. Fungsi perubahan
Telah lama  di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk  untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
    1. Fungsi stabilisasi
Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.
    1. Fungsi kemudahan
Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme  baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.

  1. TAHAP PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikatakan bahwa  terdapat beberapa tahapan dalam pembentukan suatu undang-undang. Ada pun tahapan yang dimaksud tersebut adalah :
  1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan tahap awal dalam pembentukan suatu undang-undang. Dalam tahap perencanaan ini lazimnya ditandai dengan adanya, penyusunan konsepsi rancangan undang-undang, atau penyusunan naskah akademik, pengharmonisan konsepsi, dan sertifikasi konsepsi baik melalui program legislasi nasional, maupun melalui  persetujuan izin prakarsa.  Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan bahwa konsepsi dan materi pengaturan rancangan undang-undang yang disusun harus selaras dengan falsafah negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang lain, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut.
Keselarasan yang demikian ini merupakan inti sari dari pengharmonisan suatu rancangan undang-undang. Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan bahwa konsepsi suatu rancangan undang-undang berisikan latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan. Sama halnya dengan konsepsi, naskah akademik merupakan konsepsi rancangan undang-undang juga, tetapi konsepsi tersebut  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pensertifikasian suatu rancangan undang-undang dalam program legislasi nasional hanya dapat dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah dilengkapi dengan kosepsi atau naskah akademiknya, sebagai alasan teknis rancangan undang-undang untuk bisa dimasukan ke dalam program legislasi nasional. Di samping itu terdapat sejumlah kriteria yang dijadikan syarat bagi suatu rancangan undang-undang untuk  dapat dimasukan ke dalam program legislasi nasional.
Persyaratan tersebut adalah bahwa rancangan undang-undang yang akan disusun merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perintah dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, perintah dari undang-undang, terdapat dalam daftar program legislasi nasional tahun 2005-2009, dan urgensi rancangan undang-undang. Selain itu dalam keadaan tertentu pemrakarsa dapat melakukan penyusunan rancangan undang-undang setelah memperoleh sertifikasi melalui persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Penyusunan rancangan undang-undang berdasarkan sertifikasi persetujuan izin prakarsa hanya dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut :
·         menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
·         meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
·         melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
·         mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam; atau
·         keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri.
  1. Tahap Penyusunan
Penyusunan rancangan undang-undang hanya dapat dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah disertifikasi baik melalui program legislasi nasional, maupun melalui persetujuan izin prakarsa oleh Presiden.  Setelah rancangan undang-undang disertifikasi langkah awal yang harus dilakukan oleh pemrakarsa adalah mebentuk pantia antardepartemen. Keanggotaan panitia antardepartemen ini merupakan representasi dari instansi pemerintah yang secara langsung terkait dengan materi yang akan disusun dalam rancangan undang-undang.
Pemrakarsa dapat mengundang para ahli baik dari lingkungan akademisi, organisasi profesi, maupun organisasi sosial kemasyarakatan lainnya untuk turut serta dalam penyusunan rancangan undang-undang. Keikutsertaan wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk   melakukan pengharmonisasian rancangan undang-undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam rangka penyempurnaan rancangan undang-undang pemrakarsa dapat menyebarluaskan rancangan undang-undang kepada masyarakat.  Hasil peyebarluasan rancangan undang-undang kepada masyarakat selanjutnya dijadikan bahan oleh panitia antardepartemen untuk menyempurnakan materi rancangan undang-undang yang sedang disusunnya.  Pemrakarsa selanjutnya menyampaikan rancangan undang-undang yang telah disusun oleh panitia antardepartemen kepada masing-masing menteri atau pimpinan lembaga terkait  yang menjadi anggota panitia antardepartemen untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. 
Dalam hal pemrakarsa melihat adanya perbedaan di antara pertimbangan yang disampaikan oleh menteri/pimpinan lembaga, pemrakarsa bersama dengan Menteri menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait yang bersangkutan. Apabila upaya tersebut tidak membuahkan hasil Menteri melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut kepada Presiden  untuk memperoleh keputusan. Perumusan ulang rancangan undang-undang dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama Menteri.  RUU yang sudah tidak memiliki permasalahan lagi baik dari substansi maupun dari segi teknik oleh pemrakarsa diajukan  kepada Presiden untuk   disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna dilakukan pembahasannya.
  1. Tahap Pembahasan
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan dalam duat tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat kesatu berisikan agenda penyampaian keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang, penyampaian pandangan dan pendapat fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap rancangan undang-undang, pembahasan materi rancangan undang-undang berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM), baik dalam forum panitia khusus (PANSUS), pantia kerja (PANJA), tim perumus (TIMUS), tim sinkronisasi (TIMSIN), maupun tim kecil (TMCIL). Sedangkan pembicaraan tingkat kedua berisi agenda rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, berupa pengambilan keputusan atas persetujuan rancangan undang-undang untuk dapat disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden.
  1. Tahap Pengesahan
Ketua  Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan rancangan undang-undang kepada Presiden untuk dapat disahkan menjadi undang-undang. Penyampaian rancangan undang-undang oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari, terhitung sejak tanggal dicapainya persetujuan rancangan undang-undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya Presiden wajib mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dengan membubuhi tandan tangannya. Pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang tersebut dilakukan dalam jangka waktu tiga puluh hari terhitung sejak disampaikannya  Rancangan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
Jika jangka waktu yang telah ditentukan tersebut terlampaui dan ternyata Presiden belum juga membubuhkan tanda tangannya sebagai indikasi disahkannya rancangan undang-undang menjadi undang-undang maka rancangan undang-undang tersebut dianggap sah menjadi undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  1. Tahap Pengundangan
Menteri mengundangkan rancangan undang-undang yang telah disahkan menjadi undang-undang dengan menempatkannya dalam lembaran negara Republik Indonesia. Sedangkan penjelasan undang-undang ditempatkan dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui kelahiran atau kehadiran suatu undang-undang,  sekaligus menandai saat mulai berlakunya undang-undang tersebut beserta kekuatan mengikatnya.
  1. Tahap Penyebarluasan  
Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004  ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyebarluaskan undang-undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui dan memahami maksud yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Penyebarluasan ini dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau media elektronik.


BAB III
PENUTUP
Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme  baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.








DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, Jakarta, 1994,
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan,
Ajaran ini berasal dari Roscoe Pound. Di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Mochtar Kusuaatmadja





.



SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah ILMU PERUNDANG-UNDANGAN dengan membahas tentang SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA dalam bentuk MAKALAH sebagai tugas pengganti Quis.
Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan doa dari banyak pihak sehingga kendala-kendalah yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Dosen Ilmu Perundang-undangan yang telah memberikan tugas beserta petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
  2. Orang tua dan keluaraga yang telah turut membantu do’a dan kepercayaan untuk kuliah diluar daerah, hingga termotivasi dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
  3. Kawan-kawan seperjuangan yang terus memberi semangat kebersamaan sehingga setiap masalah bisa terpecahkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi para penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, dan jika terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini maka para penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan para penulis juga menerima keitikan dan saran agar kedepan bisa lebih sempurna. Amiin.
 Lhokseumawe, 10 Oktober 2011
Hormat Saya

 SYAHRUL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR  ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................  1
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
A.    Pembagian Dan Asas Perundang-Undangan..................................................... 3
B.     Kaidah Hukum Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan......................... 4
C.     Jenis-Jenis Dan Fungsi Serta Proses Penyusunan Perundang-Undangan Di Indonesia Baik Di Pusat Maupun Di Daerah............................................................................................ 8
D.    Rangka Dasar Peraturan Perundang-Undangan Dan Penjelasan Peraturan Perundang-Undangan         13
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 16
A.    Kesimpulan........................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 17






BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Istilah dan Pengertian Perundang-undangan Secara etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1.bersifat tertulis
2.mengikat umum
3.dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”. Tempat (Lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Perundang-undangan dalam Kerangka Keilmuan Tempat (lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam kerangka ilmu, dapat diketahui dari pandangan Krems yang memperkenalkan cabang ilmu baru yang disebut Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum Negara.















BAB II
PEMBAHASAN
  1. PEMBAGIAN DAN ASAS PERUNDANG-UNDANGAN
a. Pebagian perundang-undangan
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ini oleh Krems dibagi dua yaitu:
  1. Ilmu Perundang-undangan dan
  2. Teori Ilmu Perundang-undangan, teori ilmu Perundang-undangan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
    • Proses perundang-undangan
    • Metode perundang-undangan dan
    • Teknik perundang-undangan.
Berdasarkan pandangan Krems inilah kita dapat menyimpulkan bahwa mata kuliah ini merupakan bagian dari Ilmu Perundang-undangan, sedangkan ilmu perundang-undangan, menurut Krems, Maihofer, dan van der Velden, termasuk dalam cabang Ilmu Hukum dalam arti luas. Mengenai hubungan antara mata kuliah ini dengan disiplin ilmu lain pertama penting dikemukakan pandangan F. Isjwara, bahwa ilmu tidak dapat dipisah-pisahkan dalam kotak-kotak yang terpaku mati (compartementization). Oleh karena itu tidak mungkin ilmu tersebut berdiri sendiri terpisah satu sama lainnya tanpa adanya pengaruh dan hubungan. Demikian halnya mata kuliah ini yang dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan disiplin ilmu lain, terutama dengan cabang ilmu-ilmu sosial yang mempunyai objek kehidupan ‘Negara’. Misalnya dengan Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Hukum, dan juga dengan Ilmu Pemerintahan. Hubungannya adalah bahwa ilmu perundang-undangan lebih sempit karena objeknya khusus tentang pembentukan peraturan hukum oleh Negara, sedangkan ilmu perundang-undangan dikatakan lebih luas karena menggunakan permasalahan, paradigma, dan metode dari disiplin ilmu-ilmu yang lain. Karena itu Krems menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungswissenchaft) secara eksplisit merupakan ilmu interdisipliner yang berdiri sendiri. Ilmu Perundang-undangan bersifat normatif dengan orientasi pada melakukan perbuatan menyusun peraturan perundang-undangan, karenanya bermanfaat memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan membuat peraturan perundang-undangan.
b. Asas-asas Perundang-undangan
Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:
  1. asas Undang-undang tidak berlaku surut
  2. asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
  3. asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.
  4. asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu/lama).
  5. easas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950.

  1. KAIDAH HUKUM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
            Perundang-undangan Menurut teori perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu:
    • Aspek materiil/Substansial, berkenaan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan.
    • Aspek Formal/Prosedural, berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu.
a. Struktur Kaidah Hukum
Aturan hukum sebagai pedoman perilaku yang dibuat oleh para pengemban kewenangan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
·         subjek kaidah: menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan.
·         objek kaidah: menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
·         operator kaidah: menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban tertentu.
·         kondisi kaidah: menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Aturan hukum yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat digolongkan menjadi empat, yakni sifat umum abstrak, umum-konkret, individual-abstrak, dan individual-konkret. Keempat sifat kaidah hukum ini digunakan secara kombinatif dalam suatu peraturan perundang-undangan, bergantung pada isi/substansi dari wilayah penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan. Kombinasi sifat aturan hukum ini sebagian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang terdapat dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkatan peraturan perundang-undangan, makin abstrak dan umum sifatnya.
Berdasarkan pemahaman terhadap kaidah-kaidah hukum, dapat diidentifikasi beberapa jenis kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
1.Kaidah Perilaku,
Adalah jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau boleh berperilaku. Fungsinya untuk mengatur perilaku orang-orang dalam kehidupan masyarakat.
2.Kaidah Kewenangan,
adalah jenis kaidah hukum yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku tertentu. Fungsinya adalah untuk menetapkan siapa yang berwenang untuk mengatur perilaku orang, menentukan dengan prosedur bagaimana kaidah perilaku itu ditetapkan dan sekaligus menentukan bagaimana suatu kaidah harus ditetapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ditidakjelasan.
3.Kaidah Sanksi,
adalah jenis kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpuasan terhadap kaidah tertentu. Secara umum kaidah sanksi memuat kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
4.Kaidah Kualifikasi:
adalah jenis kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.
5.Kaidah Peralihan,
adalah jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kaidah peralihan ini fungsinya untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian dan memberi jaminan perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.
b. Landasan Hukum Peraturan
Setiap perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia, disusun berdasarkan landasan umum penyusunan perundang-undangan yaitu:
  • landasan Filosofis, Pancasila sebagai Filsafah Bangsa (filosofische grondslaag).
  • landasan Yuridis, dari mulai UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-undang
  • landasan Politis, setiap Kebijaksanaan yang dianut Pemerintah di bidang Perundang-undangan.

Untuk landasan hukum Peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, meliputi:
·         Undang-undang, mempunyai landasan hukum Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan 21 UUD l945 Jo Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966.
·         Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, landasan hukumnya Pasal 22 UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
·         Peraturan Pemerintah, mempunyai landasan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/XPRS/1966.
·         Keputusan Presiden, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
·         Instruksi Presiden, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 berbagai jenis Perundang-undangan lainnya sebagai Peraturan Pelaksanaannya diatur berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
c. Lembaga dan Badan Pemerintahan Republik Indonesia
  • Lembaga-lembaga Pemerintahan Republik Indonesia di Pusat meliputi: Lembaga Pemerintahan yang pengaturannya terdapat dalam UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, serta para Menteri sebagai pembantunya.
  • Di samping itu dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Presiden dapat menetapkan badan/pejabat lain yang dapat membantu Presiden menyelenggarakan pemerintahan negara, mereka itu ialah:
a. Pejabat setingkat Menteri
b. Lembaga atau Badan Pemerintah Non-Departemen
c. Direktorat Jenderal Departemen
d. Badan-badan Negara seperti Pertamina
d. Jenis Peraturan Perundang-Undangan di Pusat dan Daerah
Jenis Peraturan Perundang-Undangan di Pusat yang dibuat oleh Lembaga/Badan Pemerintah di Pusat adalah:
a. Peraturan Pemerintah
b. Keputusan Presiden
c. Instruksi Presiden
d. Peraturan dan Keputusan Menteri
e. Instruksi Menteri
f. Keputusan/Peraturan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
g. Keputusan/Peraturan Pimpinan Badan Negara, dan
h. Peraturan atau Keputusan Direktur Jenderal Departemen
Sedangkan yang termasuk Lembaga Pemerintahan di Daerah, meliputi: Pemerintah Daerah  Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Pada satuan pemerintahan terendah kita juga mengenal Pemerintahan Desa/Kelurahan yang sekarang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun l999, yang dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Kelurahan. Perundang-undangan yang dihasilkan oleh Badan atau Pejabat di daerah adalah:
a. Peraturan Daerah Propinsi
b. Keputusan Kepala Daerah Propinsi (Gubernur)
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
d. Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota
e. Peraturan Desa
f. Keputusan Kepala Desa

  1. JENIS-JENIS DAN FUNGSI SERTA PROSES PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAIK DI PUSAT MAUPUN DI DAERAH
a. Jenis-Jenis Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia kita mengenal banyak jenis peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan yang mempunyai wewenang membuat perundang-undangan. Meskipun telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, yang mencantumkan tata urutan peraturan perundangan, namun dalam praktik kita mengenal jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
I. Perundang-undangan di Pusat.
  • Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR (S)
  • Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah
  • Keputusan Preside
  • Keputusan Menteri
  • Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
  • Keputusan Direktur Jenderal Departemen9.Keputusan Kepala Badan Negara
II. Perundang-undangan di Daerah
  • Peraturan Daerah Provinsi
  • Keputusan Gubernur
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
  • Keputusan Bupati/Walikota
b. Fungsi Aturan Perundang-undangan di Indonesia
Fungsi Aturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Indonesia adalah sebagai berikut :
  • Fungsi Undang-undang Dasar, berfungsi sebagai hukum dasar bagi pembentukkan lembaga-lembaga negara, fungsi, dan hubungannya antara satu dengan yang lain, mengatur hubungan antara Negara dengan warga negara, dan memuat cita-cita serta tujuan Negara.
  • Ketetapan MPR, pada dasarnya berfungsi mengatur tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
  • Fungsi undang-undang adalah :
1.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
2.      pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945
3.      pengaturan Lebih lanjut dari Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutkan;
4.      pengaturan di bidang materi Konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.4.Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
  • (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa
  • Fungsi Peraturan Pemerintah adalah :
1.      pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya
2.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
  • Fungsi Keputusan Presiden yang berisi pengaturan adalah :
1.      menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4 ayat 1 UUD 1945)
2.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
3.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
  • Fungsi Keputusan Menteri adalah sebagai berikut:
1.      menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya (sesuai dengan pasal 17 ayat 1 UUD 1945).
2.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.
3.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.
4.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
  • Fungsi Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen adalah :
1.      menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
2.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden. Merupakan delegasian berdasarkan pasal 17 ayat (1) UUD 1945.
  • Fungsi Keputusan Direktur Jenderal Departemen adalah:
1.      menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis Keputusan Menteri.
2.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri.
  • Fungsi Keputusan Badan Negara adalah:
1.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang mengatribusikan dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
2.      menyelenggarakan secara umum dalam rangka penyelenggaraan fungsi dan tugasnya.
  • Fungsi Peraturan Daerah Diatur dalam pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999
  • Fungsi Keputusan Kepala Daerah adalah menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan..
    Fungsi Keputusan Desa adalah mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, yang dibuat oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa. Sedangkan Keputusan Kepala Desa berfungsi sebagai pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan kebijaksanaan kepala desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa.

c. Proses Penyusunan Perundang-undangan DiPusat Maupun Didaerah
a. Proses Penyusunan Perundang-undangan DiPusat
Pembahasan tentang proses penyusunan perundang-undangan di Pusat dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
  1. Setiap bentuk/jenis peraturan perundang-undangan mempunyai prosedur penyusunannya masing-masing. Penyusunan produk hukum MPR berupa Ketetapan MPR meliputi persiapan Rancangan Ketetapan/Keputusan yang disiapkan oleh Badan Pekerja hingga dilakukannya pembahasan dalam Sidang MPR yang mempunyai 4 tingkatan pembahasan/pembicaraan. Hal ini diatur khusus dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
  2. Proses penyusunan undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah meliputi: Proses persiapan rancangan Undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah, lalu pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dengan 4 tingkatan, kemudian penandatanganan oleh Presiden, dan Pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara. Demikian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan Keputusan DPR Nomor 16/DPR-RI/I/1999-2000.

b.      Proses Penyusunan Perundang-undangan di Daerah
Proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Daerah termasuk Pemerintahan Desa, berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut menunjuk lebih lanjut pada peraturan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur proses perundang-undangan.
Proses penyusunan Peraturan Daerah, meliputi:
  1. Usul inisiatif atau Rancangan Peraturan Daerah disampaikan kepada Ketua DPRD untuk selanjutnya diteruskan kepada Panitia Musyawarah DPRD untuk menentukan hari atau waktu persidangan
  2. Rancangan Peraturan Daerah diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari persidangan
  3. Kepala Daerah atau anggota DPRD yang mengusulkan (pemrakarsa), menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah itu secara resmi pada Sidang Pleno DPRD
  4. Para anggota DPRD mengajukan pendapat setuju, menolak, atau mengusulkan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah itu.
  5. Apabila dipandang perlu atas permufakatan Kepala Daerah dengan DPRD dapat dibentuk Panitia Khusus untuk merumuskan isi redaksi atau pun bentuk Rancangan Peraturan Daerah
  6. Rancangan yang telah mendapat persetujuan dari DPRD ditandatangani oleh Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dan sebagai pernyataan persetujuan dari DPRD, Ketua DPRD turut serta menandatangi Peraturan Daerah tersebut.
Proses Pembuatan Keputusan Kepala Daerah, sepenuhnya merupakan wewenang Kepala Daerah yang bersangkutan, umumnya disiapkan oleh Biro Hukum Pemerintah Daerah setempat. Peraturan Desa dibuat oleh Kepala Desa dengan musyawarah Badan Perwakilan Desa, dan tidak perlu mendapatkan persetujuan Bupati/Walikota, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat. Sedangkan Keputusan Kepala Desa dibuat oleh Kepala Desa tanpa perlu persetujuan siapa pun, fungsinya untuk menjalankan Peraturan Desa.

  1. RANGKA DASAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENJELASAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pada bagian ini dikemukakan tentang rangka dasar yang memuat bagian-bagian penting yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan merujuk pada ketentuan dalam Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Teknik Penyusunan Perundang-undangan. Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.Judul
2.Pembukaan
3.Batang Tubuh
a.Ketentuan Umum
b.Ketentuan yang mengatur materi muatan
c.Ketentuan Pidana
d.Ketentuan Peralihan
e.Ketentuan Penutup
4.Penutup
5.Penjelasan (jika diperlukan)
6.Lampiran (jika diperlukan)
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan
Penjelasan merupakan suatu penafsiran/penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengetahui maksud latar belakang peraturan perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Naskah Penjelasan peraturan perundang-undangan, harus disiapkan bersama-sama dengan Rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penamaan dari Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan, ditulis sesuai dengan nama peraturan perundang-undangan yang dijelaskan.
Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam Penjelasan yaitu:
  1. Penjelasan Umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
  2. Penjelasan Pasal demi Pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
·         Isi penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
·         Isi penjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
·         Isi penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
·         Isi penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam Ketentuan Umum.
·         Apabila suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan “Cukup Jelas”.









BAB III
PENUTUP
    1. KESIMPULAN
Jika Lembaran Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan “isi” atau teks peraturan perundang-undangan, maka Tambahan Lembaran Negara untuk memuat Penjelasan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan adalah kegiatan yang meliputi: Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainnya, Dan Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lainnya, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainya. Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah: perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Badan atau Pejabat yang berwenang membentuknya, berdasarkan prosedur yang berlaku, dan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis
perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan secara baik tanpa merubah sistematika dari peraturan perundang-undangan yang dirubah dalam suatu perubahan peraturan maka di dalam perumusan, penamaan, hendaknya disebut peraturan perundang-undangan mana yang diubah dan perubahan yang dilakukan itu adalah perubahan yang ke berapa kalinya.





DAFTAR PUSTAKA
B. Hestu Cipto Handoyo. 2008. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hlm.
I.C. van der Vlies, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-Gravenhage: Vuga 1984
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Maria Farida Indrati, S., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta: Kanisius, hlm.